Kamis, 09 Februari 2012

Pendidikan

Nama                           : Fatmawati Agustina
NIM                            : 06101007009
Mata Kuliah                : Belajar dan Pembelajaran
Dosen Pengasuh          : Imron A Hakim
Hari,tanggal                : Rabu, 12 September 2011

CONTOH RUMUSAN TUJUAN PENDIDIKAN
Rumusan tujuan pendidikan di Indonesia selalu mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan masyarakat dan negara. Berikut ini beberapa contoh rumusan tujuan pendidikan nasional, seperti :
a.       Undang-undang Nomor 12 Tahun 1954:
      Pasal 3 :  Tujuan  pendidikan  dan  pengajaran   ialah  membentuk  manusia     susila  yang cakap dan warga negara yang demokratis  serta   bertanggung  jawab       tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air.
Pasal 4 :  Pendidikan  dan   pengajaran  berdasarkan  atas  asas-asas  yang  termaktub dalam  Pancasila,   Undang-Undang  Dasar 1945.   dan    atas    kebudayaan kebangsaan Indonesia
b.      Tap MPRS No.XXVII/MPRS/1966 Bab II Pasal 3 di cantumkan : “ Tujuan Pendidikan membebtuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang dikehendaki Pembukaan dan Isi Undang-Undang dasar 1945 “

c.       Tap MPR no. IV/MPR/1978 menyebutkan: “ Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila dan bertujuan meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Kecerdasan, dan ketrampilan , mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan memepertebal semangat kebangsaan, agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa “

d.      Tap MPR No. II/MPR/1988 dikatakan : “ Pendidikan Nasional bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuahn Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian , berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan trampil serta sehat jasmani dan rohani “

e.       Undang-Undang No.2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Bab II pasal  4 dikemukakan: “ Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan , sehat jasmani dan rohani , kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan “

f.       Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II “ pasal 3 dikemukakan “ Pendidikan Nasional  bertujuan  untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat , berilmu, cakap, kreatif , mandiri , dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.


DDPB "impulsif,malu,marah"


DETEKSI DINI PERILAKU BERMASALAH

IMPULSIF, MALU, DAN MARAH


logo-unsri

NAMA                             : FATMAWATI AGUSTINA        
NIM                                 : 06101007009
DOSEN PENGASUH    : Drs. ROMLI MENARUS, S.U.,Kons.


PRODI PEND. BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2011/2012


1.        IMPULSIF

a.        Pengertian
Impulsif adalah dorongan yang didasarkan keinginan atau untuk pemuasan keinginan secara sadar maupun tidak sadar. Bertindak impulsif: suatu tindakan yang didasarkan dengan adanya dorongan untuk mengekspresikan keinginan. Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

b.        Ciri-ciri
1.        Tidak mampu mengontrol diri
2.        Cenderung agresif
3.        Sering melanggar peraturan
4.        Sering memotong pembicaraan orang lain
5.        Bila mengingingkan sesuatu harus segera memperolehnya
6.        Tidak sabar menunggu giliran
7.        Memberikan jawaban sebelum guru selesai memberi pertanyaan,dll.

c.         Penyebab
1.        Organik/fisiologis
Mekanisme “menahan diri” dari otak tidak berfungsi secara adekuat (mamadai). Sebab fisiologis ini bisa saja karena factor genetic,watak dasar (pembawaan), kelambatan perkembangan atau disfungsi neorologis. Jadi dapat dikatakan  sebagian anak memang terlahir dengan potensi untuk menjadi impulsive.
2.        Kecemasan
Anak-anak yang cemas, tegang (karena berbagai konflik psikologis) seringkali bereaksi seolah-olah mereka berada dalam keadaan panic. Mereka bertindak berdasarkan pikiran pertama yang melintas dikepala tanpa bisa bersikap sedikit lebih tenang untuk mempertimbangkan berbagai alternative.
3.        Pengaruh lingkungan
Sebagian anak belajar bertingkah laku impulsive lewat lingkungannya. Ini umumnya terjadi bila orangtua juga cenderung impulsive atau mendukung tingkah laku yang serba spontan tanpa rencana.

d.        Pencegahan
1.        Ajari anak untuk bersabar
Sejak dini perlu ditanamkan pengertian pada anak bahwa tidak selalu yang dia inginkan dapat diperoleh dengan segera. Tujuannya,agar anak mampu menahan diri dalam mencapai pemuasan segala kebutuhannya tanpa merasa tegang berlebihan. Dengan tegas orangtua dapat menanamkan pengertian bahwa anak perlu mengembangkan satu potensi penting dalam dirinya,yaitu menunggu. Orangtua yang selalu bereaksi marah atau bersikap tegang terhadap tuntutan anak akan menanamkan pemahaman bahwa menunggu adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Sementara orang tua yang mampu bersikap tenang namun tegas membuat anak paham bahwa menunggu adalah sesuatu yang penting bagi dirinya, apalagi kalau ada pujian dari orangtua bila anak bisa bersikap bersabar.
2.        Ajari anak untuk juga memperhitungkan kepentingan orang lain dalam setiap tindakannya
Salah satu yang perlu di ajarkan kepada anak sejak dini adalah bahwa setiap tingkah lakunya mempunyai akibat terhadap orang lain. Hal ini bisa membuat orang lain senang misalnya, atau malah marah besar. Semakin dini dan semakin jelas konsep ini terbentuk, semakin mudah ia belajar untuk berhati-hati dalam dalam setiap tindakannya. Hal ini dapat dijelaskan lewat penjelasan sederhana, misalnya kalau kamu tak pernah bisa bersabar, teman-teman tidak mau main lagi denganmu.
3.        Ajari anak untuk terampil memecahkan masalah
Kemampuan memecahkan masalah dapat dimunculkan bila orangtua kerap mengajak anak untuk mengevaluasi setiap ide atau tindakannya. “apa kamu pikir itu baik?” misalnya. Orangtua juga dapat membantu anak untuk memecahkan masalah. Misalnya “Tidak usah marah kalau ia tidak mau main dengan kamu. Bagaimana kalau kita main permainan lain. Mungkin permainan ini menarik buat dia.” Dalam mengajarkan anak memecahkan masalah orang tua seyogianya bertindak sebagai model sekaligus pembimbing agar anak mampu memecahkan masalah dengan berbagai cara. Bila suatu saat anak sendiri punya ide bagus untuk memecahkan masalahnya, beri ia penghargaan atau pujian.

e.         Penanganan
1.        Latihan memecahkan masalah
Anak-anak seringkali merasa tidak berdaya dan sangat frustrasi bila usahanya tidak berhasil sehingga memunculkan reaksi marah dan sedih. Oleh karena itu orang tua perlu secara aktif mengajarkan cara berpikir. Cara paling efektif adalah mengajarkan anak untuk berpikir tentang sebab-akibat. “Dia marah karena kamu pukul” tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi. “kalau kamu selalu menyela pembicaraan orang lain mungkin saja orang itu akan marah,memutus pembicaraanmu kembali tersinggung,lalu pergi dan banyak lagi.” Dan satu lagi adalah konsekuansi dari tindakan, “Kalau kamu selalu mau menang sendiri tidak ada teman yang mau main dengan kamu”.
2.        Latihan menahan diri
Latih anak untuk menunda setiap keinginannya. Menunggu giliran dalam permainan, tidak makan permen setelah sikat gigi di malam hari, tidak menyela pembicaraan orang, tidak menyerobot dalam antrian,semua itu sarana yang baik guna proses pelatihan. Orangtua juga dapat mengajarkan anak untuk menghitung lebih dahulu satu sampai tiga sebelum melakukan sesuatu atau langsung intropeksi dengan cara berbicara sendiri atau cukup didalam hati. Dalam hal ini orangtua pun dapat bertindak sebagai model. Berbicara sendiri misalnya “ Wah! Lagi-lagi saya terlambat kekantor, tapi saya tidak perlu terburu-buru, tenang-tenang”.
3.        Beri pujian untuk tingkah laku yang diharapkan,hukuman untuk tingkah laku impulsive.
4.        Pergunakan kartu-kartu pengingat
Misalnya, kartu bertuliskan “Dengarkan dulu baru bicara” atau “ Pikir dulu sebelum bicara”. Kartu-kartu ini bisa diletakkan dimeja belajar anak atau di dalam tas sekolah. Atau anak dan orangtua sama-sama menggambar wajah seorang anak yang tidak mau mendengarkan orang laim. Apakah bertelinga lebar atau mulutnya yang besar. Ini semata-mata upaya agar anak ingat akan apa yang tertuliskan dalam kartu yang ia gambar bersama orangtuanya sebelum ia bertindak atau berbicara.
5.        Metoda professional
 Metoda yang biasa digunakan professional untuk menangani anak impulsive adalah metoda relaksasi. Cara ini pun bisa anda lakukan dirumah. Minta anak untuk baring atau duduk santai, tarik nafas dalam-dalam,lalu hembuskan perlahan-lahan sambil melemaskan otot-ototnya. Dengan melemaskan otot-otot dan menenangkan pikirannya, anak akan merasa tenang sekaligus merasa nyaman karena ada orangtua yang membantu mengatasi kesulitannya.

2.        MALU

a.        Pengertian
Malu adalah bentuk yang lebih dari rasa takut yang ditandai sikap mengerutkan tubuh untuk menghindari kontak dengan orang lain yang masih belum dikenal. Penelitian pada sejumlah anak menunjukkan bahwa mulai usia sekitar 6-12 bulan,rasa malu terhadap orang yang belum dikenal merupakan reaksi universal. Tak lama bayi setelah merasa biasa dengan orang tersebut,ia pun akan menghentikan tangisnya dan menunjukkan sikap ramahnya kembali.
Rasa malu pada tahun pertama merupakan pertanda bahwa bayi telah matang secara intelektual sehingga ia dapat membedakan antara orang sudah dan belum dikenalnya. Meskipun demikian pada usia ini bayi belum cukup matang untuk memahami bahwa orang yang belum dikenalnya tidaklah berbahaya. Pada masa bayi , rasa malu diekspresikan dengan cara menangis, memalingkan wajah dari orang asing dan memeluk orang yang dikenalnya untuk mencari perlindungan. Bila bayi sudah bisa merangkak atau berjalan. Ia biasanya akan lari dan bersembunyi. Setelah yakin bahwa orang itu tidak menakutkan bahkan ternyata bisa menyenangkan, biasanya si anak akan mulai mendekati.

b.        Ciri-ciri
Diantaranya sebagai berikut :
1.        Wajah yang memerah,
2.        Bicara dengan gagap atau suara selemah mungkin,
3.        Dalam tingkah laku gugup,seperti memilin-milin jari atau ujung bajunya,
4.        Biasanya menghindari kontak mata langsung dengan lawan berbicara,
5.        Dll.

c.         Penyebab
1.        Merasa tidak aman
Anak yang merasa tidak aman tidak punya cukup keberanian untuk mengekspresikan dirinya. Kepercayaan dan keyakinan dirinya tidak cukup untuk itu. Kemungkinan terluka serta resiko-resiko lain yang mungkin di alaminya adalah hal yang sangat menakutkannya,sehingga sedapat mungkin ia hindari. Mereka begitu terfiksasi pada rasa aman dan tidak berani untuk menanggung rasa malu. Namun, sikapnya yang penuh rasa takut ini malah membuatnya tidak waspada terhadap apa yang terjadi di lingkungannya. Ia juga menjadi semakin pemalu, karena tidak pernah berlatih dan tidak pernah mendapat unpan balik dari orang lain. Biasanya anak-anak ini mempunyai satu dua orang teman yang juga pemalu.
Anak-anak pemalu cenderung bergantung kepada guru mereka. Oleh karenanya, ia sering jadi bahan ledekan teman-temannya. Sebaliknya, guru pun jadi cenderung melindungi mereka,mengasihani mereka. Akibatnya, si pemalu menjadi semakin tergantung (kepada orang dewasa) dan semakin “malu” kepada teman-temannya.
·           Karena terlalu dilindungi
Anak yang terlalu di lindungi cenderung berkembang menjadi anak yang pasif dan tergantung. Salah satunya karena ia kurang punya pengalaman bertualang. Pola asuh macam ini membuat anak tidak pernah belajar untuk percaya pada kemampuannya sendiri. Ada banyak sebab mengapa orang tua bersikap terlalu melindungi anaknya. Bisa karena orangtua menganggap anaknya tidak mampu melindungi dirinya, atau karena orangtua merasa bersalah sehingga ia merasa harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hidup anak. Rasa bersalah ini bisa karena orangtua sebenarnya tidak terlalu berminat merawat anak,tidak terlalu mengharapkan kehadiran anak,dsb. Anak yang terlalu dilindungi menjauhi lingkungan karena ia hanya suka lingkungan yang cocok dengan gayanya. Ia tidak mampu berkompromi atau bertoleransi terhadap ketidaksesuaian yang mungkin terjadi.
·           Karena kurang perhatian
Sebagian orangtua menunjukkan dengan terbuka kurangnya minat mereka dalam merawat anak. Hal ini juga sering kali diperkuat dengan kepercayaan bahwa orangtua yang tidak terlalu acuh pada anaknya dapat menumbuhkan kerpercayaan diri anak. Padahal, anak-anak yang diasuh oleh orang tua dengan minat terbatas malah akan berkembang menjadi penyegan dan pemalu. Anak tidak pernah merasa dirinya cukup berharga untuk bisa membuat orang lain tertarik. Akibatnya,ia juga tidak punya kepercayaan diri untuk tampil secara social.
·           Karena terlalu sering dikritik
Orangtua yang terlalu sering mengkritik anak, apalagi kalau itu ia lakukan di depan umum, berpotensi untuk melahirkan anak-anak yang  pemalu atau takut. Hal ini karena anak-anak yang terlalu banyak mendapat kritikan akan mengembangkan rasa tidak menentu,tidak pasti,ragu-ragu. Kritik mungkin sajamemang merupakan salah satu  cara untuk mendisiplin anak. Teteapi kritik yang berlebihan malah akan membuat anak menjadi takut salah, ragu-ragu dan berkembang menjadi rasa malu untuk tampil.
·           Karena sering diolok
Anak yang sering di ejek dan dipermainkan akan tumbuh menjadi anak yang pemalu. Ironisnya, orang tua dan saudara-saudaranya senang mengejek anak yang perasa (mudah menangis, tidak bisa membela dirinya), yang akhirnya membuat anak berusaha melindungi dirinya dengan cara menarik diri. Untuk menghindari godaan, ia hindari kontak social. Anak bungsu seringkali berkembang menjadi anak pemalu karena kerap menjadi bulan-bulanan kakak-kakaknya.
·           Karena inkonsistensi
Pola asuh yang inkonsistensi sering ketat,kali lain longgar atau suatu saat sangat memanjakan, saat lain bersikap tak peduli, membuat anak tidak bisa memahami apa yang sebenarnya diharapkan dari dirinya. Anak-anak ini mungkin akan berkembang menjadi anak yang pemalu dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari orang lain yang bisa bersika konsisten padanya, yang bisa memberinya rasa aman.
·           Karena banyak dihukum
Banyak orangtua yang menghantui anaknya dengan setumpuk hukuman. Atau lebih banyak menghukum daripada memahami keiginan anaknya. Akibatnya, respons anak selalu diselimuti dengan rasa takut dan ragu. Akhirnya untuk menghindari kemungkinan diancam, ia cenderung menarik diri, menghadapi orang lain dengan sikapnya yang penuh kecurigaan.

2.        Sadar bahwa dirinya pemalu
Pola ini semakin terbentuk bila anak sendiri sudah memproklamasikan dirinya sebagai si pemalu. Segala situasi ia amati dengan matanya yang serba takut dan kritis terhadap diri sendiri, karena ia sudah merasa yakin dan telah menemukan bukti bahwa ia memang pemalu dan tidak bisa bersikap asertif. Semua informasi atau pandangan yang tidak sepaham cenderung tidak ia gubris. Bahkan anak-anak ini tidak percaya pada segala macam pengakuan atau penghargaan yang diberikan orang lain terhadap mereka. Mereka tidak pernah yakin bahwa pujian/penghargaan itu memang berkat prestasi mereka. Satu-satunya yang ia ketahui adalah cap mereka sebgai “si anak pemalu”. Itulah satu-satunya “kekayaan” yang mereka punya. Umunya, mereka juga tak pernah henti berbicara kepada diri sendiri bahwa “Saya tidak bisa mengembangkan pembicaraan yang menarik dengan orang lain”,”Saya tahu mereka semua tidak senang sama saya” dan “Lebih baik saya diam saja daripada dikatai orang bodoh”.
3.        Temperamen dan hambatan fisik
Sebagian anak sudah pemalu sejak lahir. Jadi, factor bawaan juga berpengaruh. Sering kita temui bayi yang begitu cerewet,supel, tetapi ada juga bayi yang sangat pendiam. Kecenderungan ini bisa berlanjut terus sepanjang hidupnya. Apalagi bila bayi terlahir “pemalu” ini diasuh dengan cara-cara yang menumbuhkan rasa tidak aman. Ia berpotensi besar untuk tumbuh menjadi si pemalu. Problem juga bisa muncul bila bayi yang cenderung pemalu di asuh oleh orangtua yang sangat outgoing. Akan terjadi konflik yang menetap antara anak dengan orangtua yang antara lain karena orangtua selalu menuntut sang anak untuk lebih socialable. Cacat fisik juga dapat menimbulkan rasa malu yang sangat pada anak. Kecacatannya membuat anak menjadi self conscious,lalu sadar akan kekurangan dirinya. Ia pun tumbuh menjadi anak yang sangat sensitive dan cenderung menghindari kontak dengan orang lain. Anak yang mengalami kesulitan bejar,berbicara juga bverpotensi untuk menarik diri secara social.
4.        Orang tua sebagai model
Orang tua pemalu cenderung memiliki anak yang pemalu juga. Ini karena anak cenderung meniru sikap pemalu yang ditunjukan oleh orang tua mereka. Bagaimana anak ? Kontak social orang tua pun minimal, berbicara dengan orang lain cenderung tunjukan sikap ragu, tidak percaya akan rasa takut. Tetapi, ada juga orang yang tidak pemalu, akhirnya malah memproduksi anak pemalu. Ini karena orang kerap menggunjingkan orang dengan secara yang mencolok. Situasi ini membuat berkesimpulan bahwa orang akan menggunjingkan bila ia tampil tidak menyakinkan . Saatnya, anak cenderung menghindari banyak karena takut.

d.        Pencegahan
1.        Dorong dan beri anak pujian bila ia bersosialisasi
Sejak kecil, seyogianya anak dikenalkan pada lingkungan serta pengalaman bersosialisasi yang menyenangkan. Anak bisa Anda bawa mengunjungi tetangga yang memiliki anak seusianya dan bepergian bersama satu atau lebih anak  anak bersama-sama. Bila anak Anda malu sisipkan satuatau dua anak supel sehingga suasana jadi lebih hidup. Beri ia minuman, tepukan di pundak atau komentar yang manis saat ia menunjukan sikap yang diharapkan saat bersama teman. Anak selalu jangan di biarkan menyendiri terlalu sering, misalnya nonton televise atau membaca sendirian. Anjurkan ia untuk bergaul, tidak dengan cara memaksa. Bantulah untuk memahami seluk-beluk pergaulan. Misalnya saja, bila ia tidak masuk ke dalam kelompok tertentu, tidak seperti kelompok tersebut membenci atau merendahkannya, tetepi memang lebih mudah bagi seseorang untuk bergaul dengan orang lain yang “serupa” dengan mereka. Anak juga perlu dilatih untuk berperilaku yang secara social dapat diterima. Bahwa tidak selamanya ia harus menjadi pemimpin, sekali-sekali ia pun perlu merasakan  dipimpin, misalnya.
2.        Dorong anak untuk bersikap wajar.
Anak-anak perlu didorong bahkan diberi pujian bila ia menunjukan rasa percaya diri dan bersikap wajar. Tekankan kepada mereka bahwa sikap berpura-pura atau keinginan untuk berperilaku”sempurna” adalah tidak penting. Yang paling penting adalah, anak mampu menjadi dirinya sendiri, mampu mengekpresikan pikiran dan perasaannya tanpa merasa takut dilecehkan dan dikecewakan. Anak juga perlu dilatih untuk menghadapi ejekan dan cemooan tanpa harus bersikap berlebihan. Stress harus dihadapi, bukan dihindari.Hal penting lainnya, adalah tidak member perhatian berlebih terhadap sikap malunya, misalnya saja dengan kemarahan, terus menerus dibicarakan atau mala bersikap “mengasihani” mereka. Beri ia kesempatan untuk mencari jalan keluarnya sendiri, tentu saja dnegna dukungan dan dorongan Anda.
3.        Doronglah perkembangan kemampuan dan keterampilannya.
Sejak dini anak perlu diyakinkan bahwa ia mampu dan berharga. Anak perlu diberi tugas-tugas yang agak menantang yang member ia peluang untuk merasa berhasil. Anak juga perlu dirangsang untuk bersikap aktif dalam mencapai apa yang diinginkan, janagan hanay menunggu. Bila koordinasi motoriknya kurang baik, ikutkan anak ke dalam klub hobi sesuai minatnya. Selain daapt meningkatkan keterampilannya yang pada gilirannya nanti dapat menunjang rasa percaya dirinya, anak pun punya peluang untuk berteman.
4.        Sediakan atmosfir yang mampu menerima ia apa adanya.
Cinta dan perhatian membuat bayi manja. Semakin banyak kehangatan dan penerimaan, efeknya semkin baik. Anak juga perlu diberi kesempatan untuk berkata “tidak” pada situasi-situasi yang tidak diminatinya. Dengan behitu anak akan merasa otonominya dihargain, dan merasa tetap diterima sekalipun tidak sependapat dengan orang tuanya. Alhasil, anak akan mersasa bahwa ia adalah bagain dari keluarga dan dapat kembali kapan saja ia membutuhkannya. Keluarga adalah tempatnya berlabuh. Tentu saja tidak berarti orang tua tidak boleh member saran. Hal ini tetap diperlukana asal tetap memperhatikan kondisi emosional anak.

e.         Penanganan
1.        Ajar anak bergaul.
Setiap usaha anak untuk berhubungan dengan orang lain perlu dihargai. Bisa juga Anda pakai sistem nilainya. Dalam hal ini, anak diberi nilai untuk setiap usahanya berhubungan dengan orang lain. Semakin sulit karakteristik hubungan nya, misalnya menghadiri sebuah pesta, maka semakin banyak nilai yang berhak ia terima. Tetapi, tentu saja untuk beberapa ank cara ini tidak mudah, karena mereka sendiri secara bertahap masih harus diajari bagaimana bergaul . Pelatihan keterampilan social bisa dibagi-bagi ke dalam beberapa langkah, yaitu instruksi, umpan balik, latihan perilaku dan modeling (aspek yang paling efektif karena secara nyata menampilkan perilaku yang berbeda). Intruksi memuat cara-cara spesifik tentang bagaiman berhubungan dengan orang lain. Misalnya saja, berkata “hai”, tersenyum atau melakukan kontak mata. Anak-anak perlu dipersiapkan untuk menghadapi percakapan, dimana ada dua orang atau lebih berpartisipasi dalam ide dan informasi. Active listening, adalah formula kunci. Anak-anak perlu diajar umtuk bisa dilakukan dengan member perhatian, berkata sesuatu yang komentar-komentarnya penting dan harus dihargai. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan perhatian,berkata sesuatu yang menggambarkan pemahaman, bertanya sesuatu dan mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang memancing pengembangan percakapan lebih jauh.  Tidak perlu berlebihan, yang penting anak bisa memahami berperan sebagai pendengar juga penting. Umpan balik. Sangat bermanfaat bagi anak untuk membuat anak memahami dan memperbaiki keterampilannya. Ia harus diberitahu secara lugas, deskriptif dan tidak bernada menyudutkan tentang bagaimana berinteraksi dengan orangtua atau orang lain. Modeling. Memberikan anak kesempatan mencontoh bagaimana perilaku seharusnya berperilaku. Tunjukkan padanya bagaiman sikap dan perilaku social yang dapat diterima dan perlihatkan bagaimana melakukannya. Latihan perilaku. Terjadi bila anak melatih perilaku social yang lebih baik lewat intruksi, umpan balik dan modeling yang dipelajarinya. Dan dengan role playing anak berlatih seolah-olah ia berada dalam situasi nyata, dimana ia diminta untuk mencoba memecahkan permasalahannya. Bertukar peran lebih efektif lagi. Anda berganti peran dengan anak sehingga dapat menampilkan beberapa alternative perilaku yang sesuai. Dalam kesempatan ini, anda bisa berlagak sebagai pemalu, sementara anak jadi tuan rumahnya, dan sebaliknya. Anak-anak dibawah 9tahun umumnya senang bermain boneka. Anda bisa memakai boneka sebagai media.
2.        Desensitisasi rasa malu
Anak juga perlu diyakinkan bahwa situasi social bukan untuk ditakuti. Secara bertahap bisa dilatih untuk masuk kedalam situasi ini. Dalam hal ini,diupayakan agar daya imajinasi anak dimanfaatkan secara konstuktif.
Relaksasi (otot/tubuh) adalah salah satu cara untuk mengatasi kecemasan. Oleh karenanya, ajarkan anak untuk seringkali merilekskan otot-otot tubuhnya,sampai ia benar-benar merasa santai. Setelah ia merasa benar-benar santai, ajak ia untuk  membayangkan suatu situasi social. Mulai dari yang sederhana dulu, misalnya saja sekolahnya, sampai ke situasi pesta. Ajak ia membayangkan perilaku apa yang seyogianya ia lakukan dalam situasi tersebut. Misalnya saja berkata “halo”,”apa kabar?” atau “enak ya makannya”. Bila ia sudah merasa dapat membayangkan hal itu tanpa rasa cemas, ajak ia untuk mempraktekkan kebolehannya dalam situasi nyata.
Untuk membantu mereka, anda dapat membangun situasi social sebagai ajang latihan bagi anak. Anda bisa mengundang satu dua orang temannya untuk bermain dirumah. Setelah anak merasa “in” dengan tamunya, minta ia untuk membuatkan minuman dan menemani mereka mengobrol tanpa anda. Setelah itu, anda bisa mengajak anak bertandang kerumah tetangga yang punya anak sebaya anda. Secara bertahap ajak ia berkenalan, berkomunikasi dan berteman. Slain itu, anak-anak pemalu secara bertahap juga perlu diperkenalkan dengan permainan yang melibatkan banyak orang.
Beberapa anak dapat dibantu dengan suatu teknik yang dinamakan paradoxical intention. Anak hanya diminta untuk mendemonstrasikan bagaimana pemalunya mereka,tak boleh bicara. Setelah selesai tampak bahwa ia menjadi lebih santai dan mau berkomunikasi dengan orang lain. Mendorong sikap asertif. Anak-anak perlu berlatih untuk berani secara lebih terbuka menyatakan apa yang ia inginkan. Dan yang paling penting ia juga berani berkata “tidak” untuk menyatakan ketidaksetujuan. Bagaimana pun juga, ia perlu belajar untuk menunjukkan reaksinya secara terbuka, baik kebiasaan positif maupun negative. Hal ini sekaligus mempersiapkan anak untuk menghadapi reaksi positif maupun negative di lingkungannya.
3.        Masukkan anak kedalam aktivitas kelompok tertentu
Bila seorang anak malu dimasukkan kedalam suatu aktivitas kelompok,biasanya interaksi akan terjadi dengan sendirinya. Namun, peran pemimpin (kelompok) pun, misalnya saja guru amatlah penting. Sebagai orangtua, anda juga mesti terbuka menjelaskan tentang kondisi anak dan member saran. Misalnya saja, meminta guru untuk memberi anak peluang untuk mengekspresikan dirinya di hadapan orang lain. Mulai saja dari hal yang sederhana, misalnya menyebutkan sebuah judul buku atau yang kemudian harus diceritakan oleh anak keteman-temannya. Anak-anak pemalu umumnya bisa diberi tanggung jawab untuk mengasuh atau mengawasi anak yang lebih kecil. Bahkan,bermain dengan anak yang lebih kecil merupakan langkah awal sebelum ia terjun kekelompok sebayanya. Pemimpin kelompok harus selalu ingat untuk melibatkan anak kedalampermainan kelompok. Jenis pemainan dapat dipilih sedemikian rupa, sehingga anak bisa saling berkomunikasi. Contoh permainan tersebut antara lain,monopoli,hiking,bermain drama, atau menangkap serangga. Kelompok hoby dengan pimpinan yang peka dengan kebutuhan anggotanya juga bisa menjadi salah satu ajang latihan yang baik. Kelompok music, atletik, elektronik, yang memungkinkan potensi anak berkembang. Sekaligus merupakan peluang agar anak dapat diterima oleh lingkungan karena kemampuannya tersebut.
4.        Biarkan meyakinkan diri sendiri
Kendala besar dari si pemalu adalah konsep diri mereka sendiri terlanjur buruk. Segala kejadian ia lihat dan interpretasikan lewat persepsi yang dibentuknya sendiri. Mereka sangat yakin akan ketidakmampuan mereka untuk membina relasi dengan orang lain. Konsep diri semacam inilah yang perlu diterangkan dari anak. Anda perlu meyakinkan anak bahwa pemalu adalah perilaku bukan keadaa dirina. Oleh karenanya, sikap pemalu itu sebenarnya dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Anda dapat membantu meyakinkan mereka serta dapat memotong irasionalitas yang menyelubungi pikiran mereka selama ini. Dengan demikian, kebiasaan untuk berpikir tentang hal-hal yang burung tentang dirinya dapat dihilangkan (negative self talk).
Berpikir positif dapat dibangun melalui pembicaraan yang positif pula. Ajak anak anda berbicara, kemudian evaluasi isi pembicaraannya. Bila anak anda berkata, “Ah,saya tidak bsemuanya pintar-pintar sih.. Cuma saya saja yang bodoh di sekolah” atau “Ah saya tidak mau pergi kesana,malu, plaing-paling saya Cuma diledek.” Gantilah pernyataannya itu dengan pernyataan-pernyataan yang lebih positif, misalnya “mungkin saya memang bukan yang paling pintar, tapi peling tidak bukan juga paling bodoh” dan “Biar pun semua orang menertawakan saya,toh,mereka tidak akan membenci saya. Saya kan tidak berbuat apa-apa yang merugikan mereka’.

3.        MARAH
a.        Pengertian
·           Secara bahasa pengertian marah seperti di tulis dalam kitab Aafaatun “Alath-thariq jarya sayyid muhammad nuh ( 1993 ) marah dapat diartikan sebagai berikut:Marah berarti tidak rela terhadap sesuatu dan iri dari sesuatu. “ hilaba ‘alaihi ghadaban wamagdhabatan”.
·           Davidoff (1991) mendefinisikan marah sebagai suatu emosi yang mempunyai ciri aktivitas sistem sistem syaraf simpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat kuat disebabkan adanya kesalahan.
·           Stuart dan sundeen (1987) memberikan pengertian mengenai marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman.
·           Maxwell maltz (1977) marah adalah frustasi, suatu jenis frustasi yang meledak dimana seseorang mengubah suatu perasaan terluka yang fasif menjadi menjadi suatu tindakan penghancur disengaja yang aktif.
Marah seringkali muncul sebagai reaksi terhadap frustasi,sakit hati, dan merasa terancam. Pada umumnya, frustasi atau keiginan yang tidak terpenuhi, merupakan hal yang paling sering menimbulkan kemarahan pada tiap tingkat usia. Pada bayi, frustasi kerap timbul karena tidak dapat bergerak bebas. Sedangkan bagi anak-anak, cara-cara penanaman disiplin seperti disuruh tidur, membereskan barang bisa membuat anak marah. Selain tiu ditinggal sendiri kehilangan perhatian dan tidak mendapat apa yang mereka inginkan sering pula menjadi pencetus kemarahan.
Dibanding rasa takut, rasa marah lebih sering muncul pada masa kanak-kanak. Ini disebabkan rangsangan-rangsangan untuk marah lebih sering di alami anak ketimbang rangsangan yang menimbulkan rasa takut. Selain itu dalam tahun-tahun pertama anak sering belajar dari pengalaman bahwa dengan marah keinginannya akan terpenuhi.
Sering tidaknya dan besar kecilnya intensitas marah sangat bervariasi dari satu anak dengan anak lainnya. Seorang anak misalnya, bisa menahan rasa marahnya, sementara anak lain tidak padahal mereka sama-sama menghadapi rangsang yang sama. Terhadap rangsang cubitan misalnya, seorang anak bisa sangat marah, anak lain mungkin haya kesal, sedang yang lain lagi menunjukkan reaksi menarik diri.
b.        Ciri-ciri
1.        Secara Fisik
Muka merah, pandangan tajam, nafas pendek, keluar keringat dan tekanan darah meningkat.
2.        Secara Emosional
Merasa terganggu, menentang, jengkel, dendam, meremehkan, dan merasa kuat.
3.        Secara Social
Perilaku keras, ejekan atau humor yang tidak konsruktif, penolakan atau menarik diri..
4.        Kognitif
Mendominasi, bawel, cerewet, berdebat dan meremehkan
5.        Secara Spiritual
Ingin menang sendiri, tidak bermoral dan atau kreatifitas terhambat.

c.         Penyebab
Secara umum hal-hal yang menimbulkan rasa marah adalah : bila anak terhambat melakukan sesuatu. Hambatan bisa berasal dari dirinya sendiri, misalnya : ketidakmampuan atau dari orang lain, misalnya larangan.
Bayi-bayi biasanya marah karena secara fisik tidak nyaman, dihambat untuk bergerak, dimandikan atau dipakaikan baju. Kadang-kadang ketidakmampuan anak untuk melakukan sesuatu secara verbal pada saat awal anak belajar icara juga bisa membuat ia marah. Selain itu, bayi-bayi juga bisa marah apabila mereka merasa kurang mendapat perhatian.
Penyebab marah pada anak prasekolah umumnya tidak jauh berbeda dengan penyebab pada bayi. Tetapi selain itu anak prasekolah akan bereaksi marah bila benda-benda mainan miliknya dipegang atau di ambil anak lain. Bila ini terjadi biasanya mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk merebut kembali harta miliknya.
Reaksi marah umumnya bisa dibedakan menjadi 2 kategori besar, yaitu marah yang impulsive dan marah yang terhambat. Marah yang impulsive biasanya disebut juga agrasi. Marah jenis ini ditujukan langsung pada orang lain,binatang, atau obyek. Bisa dalam bentuk reaksi fisik, bisa pula verbal, bisa ringan, bisa berat atau intens. Amukan atau yang dikenal dengan temper tantrum  adalah hal yang biasa dijumpai pada anak-anak.
Biasanya anak-anak tidak ragu-ragu untuk menyakiti orang atau anak lain dengan cara seperti memukul, mengigit, meludah, menendang, mendorong,dll. Di usia sekitar 4tahun kemarahan itu masih ditambah lagi dengan kata-kata kasar atau ejekan-ejekan.
Marah yang terhambat adalah marah yang tidak dicetuskan karena dikendalikan atau ditahan. Biasanya anak-anak bereaksi menarik diri, melarikan diri dari anak atau orang alin yang menyebabkan ia marah adalah bentuk marah jenis ini. Biasanya anak bersikap lesu, masa bodoh atau tidak berani. Karenanya anak merasa sia-sia atau tak berguna. Inilah cara mereka menganggap menahan marah adalah lebih baik daripada mengekspresikannya karena mereka terbebas dari resiko penolakan social.
d.        Pencegahan
1.        Mempelajari hal yang menyebabkan anak marah. Ketahui dengan pasti hal apa yang dapat memicu kemarahannya, seperti lapar, bosan, suasana lingkungan yang tidak mendukung atau lainnya. Dengan mengetahui penyebabnya, maka orangtua dapat mencegah kemarahan anak.
2.        Memberikan contoh sikap tenang padanya. Anak mempelajari sesuatu dari apa yang dilihat dan dengarnya, karena itu penting untuk mencontohkan sikap tenang didepannya. Jika lingkungan disekitarnya suka marah-marah, maka anak akan menganggap bahwa perilaku ini merupakan hal yang wajar.
3.        Ketahui siapa yang sedang marah. Bila orangtua adalah orang yang mudah emosi, maka akan sangat mudah bagi anak untuk memancing kemarahan dan berakhir dengan lomba saling teriak tanpa ada penyelesaian. Karena itu perlu diketahui siapa yang marah agar kondisi tetap terkendali.
4.        Usahakan untuk tetap tenang meskipun berada di tempat umum. Sebaiknya orangtua tidak menunjukkan kemarahannya pada anak di depan banyak orang, karena anak akan semakin menunjukkan rasa marahnya. Jadi cobalah untuk menggendong dan membawanya ke tempat yang lebih sepi.
5.        Memeluk dan merangkulnya erat seperti pelukan gaya beruang. Sebagian besar anak yang kehilangan kontrol akan menjadi lebih tenang saat dipeluk. Pelukan ini tidak akan terlalu mengekangnya, namun tetap memberinya keamanan dan kenyamanan yang dibutuhkan saat sedang marah.
6.        Menahan diri adalah terapi yang baik. Tunggulah sampai ia tenang sebelum memulai konseling atau mengatasi permasalahannya, karena jika ia masih marah-marah kemungkinan Anda akan terpancing untuk ikut marah.

e.         Penanganan
1.        Pada saat anak marah, jangan beri komentar apapun. Tunjukkan muka datar. Tidak menunjukkan emosi apapun.
2.        Bila mungkin, sediakan ruangan yang 'aman' bagi anak untuk melampiaskan amarahnya. Misalnya pada saat anak sedang marah suruh dia masuk kamarnya sebagai tempat paling aman untuk melampiaskan rasa marahnya.
3.        Kalau sudah reda, baru kita datangi dan tanya "sudah marahnya? Ayo keluar". Dan di luar ruangan baru kita tanya 'ada apa', 'marah sama siapa' dsb. Gaya kita bertanya benar-benar lemah lembut seolah "badai katrina" yang tadi itu tidak pernah terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

puterakembara.org/archives/00000144.shtml

Seri Ayahbunda : Dari A sampai Z tentang Perkembangsn Anak

Seri Ayahbunda : Problema Anak Sehari-hari