DETEKSI DINI
PERILAKU BERMASALAH
IMPULSIF,
MALU, DAN MARAH
NAMA : FATMAWATI AGUSTINA
NIM : 06101007009
DOSEN PENGASUH : Drs. ROMLI MENARUS, S.U.,Kons.
PRODI PEND.
BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
2011/2012
1.
IMPULSIF
a.
Pengertian
Impulsif adalah dorongan yang
didasarkan keinginan atau untuk pemuasan keinginan secara sadar maupun tidak
sadar. Bertindak impulsif: suatu tindakan yang didasarkan dengan adanya
dorongan untuk mengekspresikan keinginan. Gejala impulsif ditandai
dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk
mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan
tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan.
Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan
sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela
pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak
juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari
impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang
membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
b.
Ciri-ciri
1.
Tidak
mampu mengontrol diri
2.
Cenderung
agresif
3.
Sering
melanggar peraturan
4.
Sering
memotong pembicaraan orang lain
5.
Bila
mengingingkan sesuatu harus segera memperolehnya
6.
Tidak
sabar menunggu giliran
7.
Memberikan
jawaban sebelum guru selesai memberi pertanyaan,dll.
c.
Penyebab
1.
Organik/fisiologis
Mekanisme “menahan diri” dari otak
tidak berfungsi secara adekuat (mamadai). Sebab fisiologis ini bisa saja karena
factor genetic,watak dasar (pembawaan), kelambatan perkembangan atau disfungsi
neorologis. Jadi dapat dikatakan
sebagian anak memang terlahir dengan potensi untuk menjadi impulsive.
2.
Kecemasan
Anak-anak
yang cemas, tegang (karena berbagai konflik psikologis) seringkali bereaksi
seolah-olah mereka berada dalam keadaan panic. Mereka bertindak berdasarkan
pikiran pertama yang melintas dikepala tanpa bisa bersikap sedikit lebih tenang
untuk mempertimbangkan berbagai alternative.
3.
Pengaruh lingkungan
Sebagian
anak belajar bertingkah laku impulsive lewat lingkungannya. Ini umumnya terjadi
bila orangtua juga cenderung impulsive atau mendukung tingkah laku yang serba
spontan tanpa rencana.
d.
Pencegahan
1.
Ajari anak untuk bersabar
Sejak
dini perlu ditanamkan pengertian pada anak bahwa tidak selalu yang dia inginkan
dapat diperoleh dengan segera. Tujuannya,agar anak mampu menahan diri dalam
mencapai pemuasan segala kebutuhannya tanpa merasa tegang berlebihan. Dengan
tegas orangtua dapat menanamkan pengertian bahwa anak perlu mengembangkan satu
potensi penting dalam dirinya,yaitu menunggu. Orangtua yang selalu bereaksi
marah atau bersikap tegang terhadap tuntutan anak akan menanamkan pemahaman
bahwa menunggu adalah pengalaman yang tidak menyenangkan. Sementara orang tua
yang mampu bersikap tenang namun tegas membuat anak paham bahwa menunggu adalah
sesuatu yang penting bagi dirinya, apalagi kalau ada pujian dari orangtua bila
anak bisa bersikap bersabar.
2.
Ajari anak untuk juga memperhitungkan kepentingan
orang lain dalam setiap tindakannya
Salah
satu yang perlu di ajarkan kepada anak sejak dini adalah bahwa setiap tingkah
lakunya mempunyai akibat terhadap orang lain. Hal ini bisa membuat orang lain
senang misalnya, atau malah marah besar. Semakin dini dan semakin jelas konsep
ini terbentuk, semakin mudah ia belajar untuk berhati-hati dalam dalam setiap
tindakannya. Hal ini dapat dijelaskan lewat penjelasan sederhana, misalnya
kalau kamu tak pernah bisa bersabar, teman-teman tidak mau main lagi denganmu.
3.
Ajari anak untuk terampil memecahkan
masalah
Kemampuan memecahkan masalah dapat
dimunculkan bila orangtua kerap mengajak anak untuk mengevaluasi setiap ide atau
tindakannya. “apa kamu pikir itu baik?” misalnya. Orangtua juga dapat membantu
anak untuk memecahkan masalah. Misalnya “Tidak usah marah kalau ia tidak mau
main dengan kamu. Bagaimana kalau kita main permainan lain. Mungkin permainan
ini menarik buat dia.” Dalam mengajarkan anak memecahkan masalah orang tua
seyogianya bertindak sebagai model sekaligus pembimbing agar anak mampu
memecahkan masalah dengan berbagai cara. Bila suatu saat anak sendiri punya ide
bagus untuk memecahkan masalahnya, beri ia penghargaan atau pujian.
e.
Penanganan
1.
Latihan memecahkan masalah
Anak-anak
seringkali merasa tidak berdaya dan sangat frustrasi bila usahanya tidak
berhasil sehingga memunculkan reaksi marah dan sedih. Oleh karena itu orang tua
perlu secara aktif mengajarkan cara berpikir. Cara paling efektif adalah
mengajarkan anak untuk berpikir tentang sebab-akibat. “Dia marah karena kamu
pukul” tentang kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi. “kalau kamu selalu
menyela pembicaraan orang lain mungkin saja orang itu akan marah,memutus
pembicaraanmu kembali tersinggung,lalu pergi dan banyak lagi.” Dan satu lagi
adalah konsekuansi dari tindakan, “Kalau kamu selalu mau menang sendiri tidak
ada teman yang mau main dengan kamu”.
2.
Latihan
menahan diri
Latih
anak untuk menunda setiap keinginannya. Menunggu giliran dalam permainan, tidak
makan permen setelah sikat gigi di malam hari, tidak menyela pembicaraan orang,
tidak menyerobot dalam antrian,semua itu sarana yang baik guna proses
pelatihan. Orangtua juga dapat mengajarkan anak untuk menghitung lebih dahulu
satu sampai tiga sebelum melakukan sesuatu atau langsung intropeksi dengan cara
berbicara sendiri atau cukup didalam hati. Dalam hal ini orangtua pun dapat
bertindak sebagai model. Berbicara sendiri misalnya “ Wah! Lagi-lagi saya
terlambat kekantor, tapi saya tidak perlu terburu-buru, tenang-tenang”.
3.
Beri
pujian untuk tingkah laku yang diharapkan,hukuman untuk tingkah laku impulsive.
4.
Pergunakan
kartu-kartu pengingat
Misalnya,
kartu bertuliskan “Dengarkan dulu baru bicara” atau “ Pikir dulu sebelum
bicara”. Kartu-kartu ini bisa diletakkan dimeja belajar anak atau di dalam tas
sekolah. Atau anak dan orangtua sama-sama menggambar wajah seorang anak yang
tidak mau mendengarkan orang laim. Apakah bertelinga lebar atau mulutnya yang
besar. Ini semata-mata upaya agar anak ingat akan apa yang tertuliskan dalam
kartu yang ia gambar bersama orangtuanya sebelum ia bertindak atau berbicara.
5.
Metoda
professional
Metoda yang biasa
digunakan professional untuk menangani anak impulsive adalah metoda relaksasi.
Cara ini pun bisa anda lakukan dirumah. Minta anak untuk baring atau duduk
santai, tarik nafas dalam-dalam,lalu hembuskan perlahan-lahan sambil melemaskan
otot-ototnya. Dengan melemaskan otot-otot dan menenangkan pikirannya, anak akan
merasa tenang sekaligus merasa nyaman karena ada orangtua yang membantu
mengatasi kesulitannya.
2.
MALU
a.
Pengertian
Malu adalah bentuk yang lebih dari rasa
takut yang ditandai sikap mengerutkan tubuh untuk menghindari kontak dengan
orang lain yang masih belum dikenal. Penelitian pada sejumlah anak menunjukkan
bahwa mulai usia sekitar 6-12 bulan,rasa malu terhadap orang yang belum dikenal
merupakan reaksi universal. Tak lama bayi setelah merasa biasa dengan orang
tersebut,ia pun akan menghentikan tangisnya dan menunjukkan sikap ramahnya
kembali.
Rasa malu pada tahun pertama merupakan
pertanda bahwa bayi telah matang secara intelektual sehingga ia dapat
membedakan antara orang sudah dan belum dikenalnya. Meskipun demikian pada usia
ini bayi belum cukup matang untuk memahami bahwa orang yang belum dikenalnya
tidaklah berbahaya. Pada masa bayi , rasa malu diekspresikan dengan cara
menangis, memalingkan wajah dari orang asing dan memeluk orang yang dikenalnya
untuk mencari perlindungan. Bila bayi sudah bisa merangkak atau berjalan. Ia
biasanya akan lari dan bersembunyi. Setelah yakin bahwa orang itu tidak
menakutkan bahkan ternyata bisa menyenangkan, biasanya si anak akan mulai
mendekati.
b.
Ciri-ciri
Diantaranya sebagai berikut :
1.
Wajah yang memerah,
2.
Bicara dengan gagap atau suara selemah
mungkin,
3.
Dalam tingkah laku gugup,seperti
memilin-milin jari atau ujung bajunya,
4.
Biasanya menghindari kontak mata
langsung dengan lawan berbicara,
5.
Dll.
c.
Penyebab
1.
Merasa tidak aman
Anak
yang merasa tidak aman tidak punya cukup keberanian untuk mengekspresikan
dirinya. Kepercayaan dan keyakinan dirinya tidak cukup untuk itu. Kemungkinan
terluka serta resiko-resiko lain yang mungkin di alaminya adalah hal yang
sangat menakutkannya,sehingga sedapat mungkin ia hindari. Mereka begitu
terfiksasi pada rasa aman dan tidak berani untuk menanggung rasa malu. Namun,
sikapnya yang penuh rasa takut ini malah membuatnya tidak waspada terhadap apa
yang terjadi di lingkungannya. Ia juga menjadi semakin pemalu, karena tidak
pernah berlatih dan tidak pernah mendapat unpan balik dari orang lain. Biasanya
anak-anak ini mempunyai satu dua orang teman yang juga pemalu.
Anak-anak
pemalu cenderung bergantung kepada guru mereka. Oleh karenanya, ia sering jadi
bahan ledekan teman-temannya. Sebaliknya, guru pun jadi cenderung melindungi
mereka,mengasihani mereka. Akibatnya, si pemalu menjadi semakin tergantung
(kepada orang dewasa) dan semakin “malu” kepada teman-temannya.
·
Karena terlalu dilindungi
Anak
yang terlalu di lindungi cenderung berkembang menjadi anak yang pasif dan
tergantung. Salah satunya karena ia kurang punya pengalaman bertualang. Pola
asuh macam ini membuat anak tidak pernah belajar untuk percaya pada
kemampuannya sendiri. Ada banyak sebab mengapa orang tua bersikap terlalu
melindungi anaknya. Bisa karena orangtua menganggap anaknya tidak mampu
melindungi dirinya, atau karena orangtua merasa bersalah sehingga ia merasa
harus bertanggung jawab sepenuhnya terhadap hidup anak. Rasa bersalah ini bisa
karena orangtua sebenarnya tidak terlalu berminat merawat anak,tidak terlalu
mengharapkan kehadiran anak,dsb. Anak yang terlalu dilindungi menjauhi
lingkungan karena ia hanya suka lingkungan yang cocok dengan gayanya. Ia tidak
mampu berkompromi atau bertoleransi terhadap ketidaksesuaian yang mungkin
terjadi.
·
Karena kurang perhatian
Sebagian
orangtua menunjukkan dengan terbuka kurangnya minat mereka dalam merawat anak.
Hal ini juga sering kali diperkuat dengan kepercayaan bahwa orangtua yang tidak
terlalu acuh pada anaknya dapat menumbuhkan kerpercayaan diri anak. Padahal,
anak-anak yang diasuh oleh orang tua dengan minat terbatas malah akan
berkembang menjadi penyegan dan pemalu. Anak tidak pernah merasa dirinya cukup
berharga untuk bisa membuat orang lain tertarik. Akibatnya,ia juga tidak punya
kepercayaan diri untuk tampil secara social.
·
Karena terlalu sering dikritik
Orangtua
yang terlalu sering mengkritik anak, apalagi kalau itu ia lakukan di depan
umum, berpotensi untuk melahirkan anak-anak yang pemalu atau takut. Hal ini karena anak-anak
yang terlalu banyak mendapat kritikan akan mengembangkan rasa tidak
menentu,tidak pasti,ragu-ragu. Kritik mungkin sajamemang merupakan salah
satu cara untuk mendisiplin anak.
Teteapi kritik yang berlebihan malah akan membuat anak menjadi takut salah,
ragu-ragu dan berkembang menjadi rasa malu untuk tampil.
·
Karena sering diolok
Anak yang sering
di ejek dan dipermainkan akan tumbuh menjadi anak yang pemalu. Ironisnya, orang
tua dan saudara-saudaranya senang mengejek anak yang perasa (mudah menangis,
tidak bisa membela dirinya), yang akhirnya membuat anak berusaha melindungi
dirinya dengan cara menarik diri. Untuk menghindari godaan, ia hindari kontak
social. Anak bungsu seringkali berkembang menjadi anak pemalu karena kerap
menjadi bulan-bulanan kakak-kakaknya.
·
Karena inkonsistensi
Pola
asuh yang inkonsistensi sering ketat,kali lain longgar atau suatu saat sangat
memanjakan, saat lain bersikap tak peduli, membuat anak tidak bisa memahami apa
yang sebenarnya diharapkan dari dirinya. Anak-anak ini mungkin akan berkembang
menjadi anak yang pemalu dan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari
orang lain yang bisa bersika konsisten padanya, yang bisa memberinya rasa aman.
·
Karena banyak dihukum
Banyak
orangtua yang menghantui anaknya dengan setumpuk hukuman. Atau lebih banyak
menghukum daripada memahami keiginan anaknya. Akibatnya, respons anak selalu
diselimuti dengan rasa takut dan ragu. Akhirnya untuk menghindari kemungkinan
diancam, ia cenderung menarik diri, menghadapi orang lain dengan sikapnya yang
penuh kecurigaan.
2.
Sadar bahwa dirinya pemalu
Pola
ini semakin terbentuk bila anak sendiri sudah memproklamasikan dirinya sebagai
si pemalu. Segala situasi ia amati dengan matanya yang serba takut dan kritis
terhadap diri sendiri, karena ia sudah merasa yakin dan telah menemukan bukti
bahwa ia memang pemalu dan tidak bisa bersikap asertif. Semua informasi atau
pandangan yang tidak sepaham cenderung tidak ia gubris. Bahkan anak-anak ini
tidak percaya pada segala macam pengakuan atau penghargaan yang diberikan orang
lain terhadap mereka. Mereka tidak pernah yakin bahwa pujian/penghargaan itu
memang berkat prestasi mereka. Satu-satunya yang ia ketahui adalah cap mereka
sebgai “si anak pemalu”. Itulah satu-satunya “kekayaan” yang mereka punya.
Umunya, mereka juga tak pernah henti berbicara kepada diri sendiri bahwa “Saya
tidak bisa mengembangkan pembicaraan yang menarik dengan orang lain”,”Saya tahu
mereka semua tidak senang sama saya” dan “Lebih baik saya diam saja daripada
dikatai orang bodoh”.
3.
Temperamen dan hambatan fisik
Sebagian
anak sudah pemalu sejak lahir. Jadi, factor bawaan juga berpengaruh. Sering
kita temui bayi yang begitu cerewet,supel, tetapi ada juga bayi yang sangat
pendiam. Kecenderungan ini bisa berlanjut terus sepanjang hidupnya. Apalagi
bila bayi terlahir “pemalu” ini diasuh dengan cara-cara yang menumbuhkan rasa
tidak aman. Ia berpotensi besar untuk tumbuh menjadi si pemalu. Problem juga
bisa muncul bila bayi yang cenderung pemalu di asuh oleh orangtua yang sangat
outgoing. Akan terjadi konflik yang menetap antara anak dengan orangtua yang
antara lain karena orangtua selalu menuntut sang anak untuk lebih socialable.
Cacat fisik juga dapat menimbulkan rasa malu yang sangat pada anak.
Kecacatannya membuat anak menjadi self conscious,lalu sadar akan kekurangan
dirinya. Ia pun tumbuh menjadi anak yang sangat sensitive dan cenderung
menghindari kontak dengan orang lain. Anak yang mengalami kesulitan
bejar,berbicara juga bverpotensi untuk menarik diri secara social.
4.
Orang tua sebagai model
Orang
tua pemalu cenderung memiliki anak yang pemalu juga. Ini karena anak cenderung
meniru sikap pemalu yang ditunjukan oleh orang tua mereka. Bagaimana anak ?
Kontak social orang tua pun minimal, berbicara dengan orang lain cenderung
tunjukan sikap ragu, tidak percaya akan rasa takut. Tetapi, ada juga orang yang
tidak pemalu, akhirnya malah memproduksi anak pemalu. Ini karena orang kerap
menggunjingkan orang dengan secara yang mencolok. Situasi ini membuat
berkesimpulan bahwa orang akan menggunjingkan bila ia tampil tidak menyakinkan
. Saatnya, anak cenderung menghindari banyak karena takut.
d.
Pencegahan
1.
Dorong dan beri anak pujian bila ia
bersosialisasi
Sejak
kecil, seyogianya anak dikenalkan pada lingkungan serta pengalaman
bersosialisasi yang menyenangkan. Anak bisa Anda bawa mengunjungi tetangga yang
memiliki anak seusianya dan bepergian bersama satu atau lebih anak anak bersama-sama. Bila anak Anda malu
sisipkan satuatau dua anak supel sehingga suasana jadi lebih hidup. Beri ia
minuman, tepukan di pundak atau komentar yang manis saat ia menunjukan sikap
yang diharapkan saat bersama teman. Anak selalu jangan di biarkan menyendiri
terlalu sering, misalnya nonton televise atau membaca sendirian. Anjurkan ia
untuk bergaul, tidak dengan cara memaksa. Bantulah untuk memahami seluk-beluk
pergaulan. Misalnya saja, bila ia tidak masuk ke dalam kelompok tertentu, tidak
seperti kelompok tersebut membenci atau merendahkannya, tetepi memang lebih
mudah bagi seseorang untuk bergaul dengan orang lain yang “serupa” dengan
mereka. Anak juga perlu dilatih untuk berperilaku yang secara social dapat
diterima. Bahwa tidak selamanya ia harus menjadi pemimpin, sekali-sekali ia pun
perlu merasakan dipimpin, misalnya.
2.
Dorong anak untuk bersikap wajar.
Anak-anak
perlu didorong bahkan diberi pujian bila ia menunjukan rasa percaya diri dan
bersikap wajar. Tekankan kepada mereka bahwa sikap berpura-pura atau keinginan
untuk berperilaku”sempurna” adalah tidak penting. Yang paling penting adalah,
anak mampu menjadi dirinya sendiri, mampu mengekpresikan pikiran dan
perasaannya tanpa merasa takut dilecehkan dan dikecewakan. Anak juga perlu
dilatih untuk menghadapi ejekan dan cemooan tanpa harus bersikap berlebihan.
Stress harus dihadapi, bukan dihindari.Hal penting lainnya, adalah tidak member
perhatian berlebih terhadap sikap malunya, misalnya saja dengan kemarahan,
terus menerus dibicarakan atau mala bersikap “mengasihani” mereka. Beri ia
kesempatan untuk mencari jalan keluarnya sendiri, tentu saja dnegna dukungan
dan dorongan Anda.
3.
Doronglah perkembangan kemampuan dan
keterampilannya.
Sejak
dini anak perlu diyakinkan bahwa ia mampu dan berharga. Anak perlu diberi
tugas-tugas yang agak menantang yang member ia peluang untuk merasa berhasil.
Anak juga perlu dirangsang untuk bersikap aktif dalam mencapai apa yang
diinginkan, janagan hanay menunggu. Bila koordinasi motoriknya kurang baik,
ikutkan anak ke dalam klub hobi sesuai minatnya. Selain daapt meningkatkan
keterampilannya yang pada gilirannya nanti dapat menunjang rasa percaya
dirinya, anak pun punya peluang untuk berteman.
4.
Sediakan atmosfir yang mampu menerima ia
apa adanya.
Cinta
dan perhatian membuat bayi manja. Semakin banyak kehangatan dan penerimaan,
efeknya semkin baik. Anak juga perlu diberi kesempatan untuk berkata “tidak”
pada situasi-situasi yang tidak diminatinya. Dengan behitu anak akan merasa
otonominya dihargain, dan merasa tetap diterima sekalipun tidak sependapat
dengan orang tuanya. Alhasil, anak akan mersasa bahwa ia adalah bagain dari
keluarga dan dapat kembali kapan saja ia membutuhkannya. Keluarga adalah
tempatnya berlabuh. Tentu saja tidak berarti orang tua tidak boleh member
saran. Hal ini tetap diperlukana asal tetap memperhatikan kondisi emosional
anak.
e.
Penanganan
1.
Ajar anak bergaul.
Setiap
usaha anak untuk berhubungan dengan orang lain perlu dihargai. Bisa juga Anda
pakai sistem nilainya. Dalam hal ini, anak diberi nilai untuk setiap usahanya
berhubungan dengan orang lain. Semakin sulit karakteristik hubungan nya,
misalnya menghadiri sebuah pesta, maka semakin banyak nilai yang berhak ia
terima. Tetapi, tentu saja untuk beberapa ank cara ini tidak mudah, karena
mereka sendiri secara bertahap masih harus diajari bagaimana bergaul .
Pelatihan keterampilan social bisa dibagi-bagi ke dalam beberapa langkah, yaitu
instruksi, umpan balik, latihan perilaku dan modeling (aspek yang paling
efektif karena secara nyata menampilkan perilaku yang berbeda). Intruksi memuat
cara-cara spesifik tentang bagaiman berhubungan dengan orang lain. Misalnya
saja, berkata “hai”, tersenyum atau melakukan kontak mata. Anak-anak perlu
dipersiapkan untuk menghadapi percakapan, dimana ada dua orang atau lebih
berpartisipasi dalam ide dan informasi. Active
listening, adalah formula kunci. Anak-anak perlu diajar umtuk bisa
dilakukan dengan member perhatian, berkata sesuatu yang komentar-komentarnya
penting dan harus dihargai. Hal ini bisa dilakukan dengan memberikan
perhatian,berkata sesuatu yang menggambarkan pemahaman, bertanya sesuatu dan
mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan yang memancing pengembangan percakapan lebih
jauh. Tidak perlu berlebihan, yang penting
anak bisa memahami berperan sebagai pendengar juga penting. Umpan balik. Sangat bermanfaat bagi
anak untuk membuat anak memahami dan memperbaiki keterampilannya. Ia harus
diberitahu secara lugas, deskriptif dan tidak bernada menyudutkan tentang
bagaimana berinteraksi dengan orangtua atau orang lain. Modeling. Memberikan
anak kesempatan mencontoh bagaimana perilaku seharusnya berperilaku. Tunjukkan
padanya bagaiman sikap dan perilaku social yang dapat diterima dan perlihatkan
bagaimana melakukannya. Latihan
perilaku. Terjadi bila anak melatih perilaku social yang lebih baik lewat
intruksi, umpan balik dan modeling yang dipelajarinya. Dan dengan role playing anak berlatih seolah-olah
ia berada dalam situasi nyata, dimana ia diminta untuk mencoba memecahkan
permasalahannya. Bertukar peran
lebih efektif lagi. Anda berganti peran dengan anak sehingga dapat menampilkan
beberapa alternative perilaku yang sesuai. Dalam kesempatan ini, anda bisa
berlagak sebagai pemalu, sementara anak jadi tuan rumahnya, dan sebaliknya.
Anak-anak dibawah 9tahun umumnya senang bermain boneka. Anda bisa memakai
boneka sebagai media.
2.
Desensitisasi rasa malu
Anak
juga perlu diyakinkan bahwa situasi social bukan untuk ditakuti. Secara
bertahap bisa dilatih untuk masuk kedalam situasi ini. Dalam hal ini,diupayakan
agar daya imajinasi anak dimanfaatkan secara konstuktif.
Relaksasi
(otot/tubuh) adalah salah satu cara untuk mengatasi kecemasan. Oleh karenanya,
ajarkan anak untuk seringkali merilekskan otot-otot tubuhnya,sampai ia benar-benar
merasa santai. Setelah ia merasa benar-benar santai, ajak ia untuk membayangkan suatu situasi social. Mulai dari
yang sederhana dulu, misalnya saja sekolahnya, sampai ke situasi pesta. Ajak ia
membayangkan perilaku apa yang seyogianya ia lakukan dalam situasi tersebut.
Misalnya saja berkata “halo”,”apa kabar?” atau “enak ya makannya”. Bila ia
sudah merasa dapat membayangkan hal itu tanpa rasa cemas, ajak ia untuk
mempraktekkan kebolehannya dalam situasi nyata.
Untuk
membantu mereka, anda dapat membangun situasi social sebagai ajang latihan bagi
anak. Anda bisa mengundang satu dua orang temannya untuk bermain dirumah.
Setelah anak merasa “in” dengan tamunya, minta ia untuk membuatkan minuman dan
menemani mereka mengobrol tanpa anda. Setelah itu, anda bisa mengajak anak
bertandang kerumah tetangga yang punya anak sebaya anda. Secara bertahap ajak
ia berkenalan, berkomunikasi dan berteman. Slain itu, anak-anak pemalu secara
bertahap juga perlu diperkenalkan dengan permainan yang melibatkan banyak
orang.
Beberapa
anak dapat dibantu dengan suatu teknik yang dinamakan paradoxical intention.
Anak hanya diminta untuk mendemonstrasikan bagaimana pemalunya mereka,tak boleh
bicara. Setelah selesai tampak bahwa ia menjadi lebih santai dan mau
berkomunikasi dengan orang lain. Mendorong sikap asertif. Anak-anak perlu
berlatih untuk berani secara lebih terbuka menyatakan apa yang ia inginkan. Dan
yang paling penting ia juga berani berkata “tidak” untuk menyatakan
ketidaksetujuan. Bagaimana pun juga, ia perlu belajar untuk menunjukkan
reaksinya secara terbuka, baik kebiasaan positif maupun negative. Hal ini
sekaligus mempersiapkan anak untuk menghadapi reaksi positif maupun negative di
lingkungannya.
3.
Masukkan anak kedalam aktivitas kelompok
tertentu
Bila
seorang anak malu dimasukkan kedalam suatu aktivitas kelompok,biasanya
interaksi akan terjadi dengan sendirinya. Namun, peran pemimpin (kelompok) pun,
misalnya saja guru amatlah penting. Sebagai orangtua, anda juga mesti terbuka
menjelaskan tentang kondisi anak dan member saran. Misalnya saja, meminta guru
untuk memberi anak peluang untuk mengekspresikan dirinya di hadapan orang lain.
Mulai saja dari hal yang sederhana, misalnya menyebutkan sebuah judul buku atau
yang kemudian harus diceritakan oleh anak keteman-temannya. Anak-anak pemalu
umumnya bisa diberi tanggung jawab untuk mengasuh atau mengawasi anak yang
lebih kecil. Bahkan,bermain dengan anak yang lebih kecil merupakan langkah awal
sebelum ia terjun kekelompok sebayanya. Pemimpin kelompok harus selalu ingat
untuk melibatkan anak kedalampermainan kelompok. Jenis pemainan dapat dipilih
sedemikian rupa, sehingga anak bisa saling berkomunikasi. Contoh permainan
tersebut antara lain,monopoli,hiking,bermain drama, atau menangkap serangga.
Kelompok hoby dengan pimpinan yang peka dengan kebutuhan anggotanya juga bisa
menjadi salah satu ajang latihan yang baik. Kelompok music, atletik,
elektronik, yang memungkinkan potensi anak berkembang. Sekaligus merupakan
peluang agar anak dapat diterima oleh lingkungan karena kemampuannya tersebut.
4.
Biarkan meyakinkan diri sendiri
Kendala
besar dari si pemalu adalah konsep diri mereka sendiri terlanjur buruk. Segala
kejadian ia lihat dan interpretasikan lewat persepsi yang dibentuknya sendiri.
Mereka sangat yakin akan ketidakmampuan mereka untuk membina relasi dengan
orang lain. Konsep diri semacam inilah yang perlu diterangkan dari anak. Anda
perlu meyakinkan anak bahwa pemalu adalah perilaku bukan keadaa dirina. Oleh
karenanya, sikap pemalu itu sebenarnya dapat dikurangi bahkan dihilangkan. Anda
dapat membantu meyakinkan mereka serta dapat memotong irasionalitas yang
menyelubungi pikiran mereka selama ini. Dengan demikian, kebiasaan untuk
berpikir tentang hal-hal yang burung tentang dirinya dapat dihilangkan
(negative self talk).
Berpikir
positif dapat dibangun melalui pembicaraan yang positif pula. Ajak anak anda
berbicara, kemudian evaluasi isi pembicaraannya. Bila anak anda berkata,
“Ah,saya tidak bsemuanya pintar-pintar sih.. Cuma saya saja yang bodoh di
sekolah” atau “Ah saya tidak mau pergi kesana,malu, plaing-paling saya Cuma
diledek.” Gantilah pernyataannya itu dengan pernyataan-pernyataan yang lebih
positif, misalnya “mungkin saya memang bukan yang paling pintar, tapi peling
tidak bukan juga paling bodoh” dan “Biar pun semua orang menertawakan
saya,toh,mereka tidak akan membenci saya. Saya kan tidak berbuat apa-apa yang
merugikan mereka’.
3.
MARAH
a.
Pengertian
·
Secara bahasa pengertian marah seperti
di tulis dalam kitab Aafaatun “Alath-thariq jarya sayyid muhammad nuh ( 1993 )
marah dapat diartikan sebagai berikut:Marah berarti tidak rela terhadap sesuatu
dan iri dari sesuatu. “ hilaba ‘alaihi ghadaban wamagdhabatan”.
·
Davidoff
(1991)
mendefinisikan marah sebagai suatu emosi yang mempunyai ciri aktivitas sistem
sistem syaraf simpatik yang tinggi dan adanya perasaan tidak suka yang sangat
kuat disebabkan adanya kesalahan.
·
Stuart dan sundeen (1987) memberikan
pengertian mengenai marah adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman.
·
Maxwell maltz (1977) marah adalah
frustasi, suatu jenis frustasi yang meledak dimana seseorang mengubah suatu
perasaan terluka yang fasif menjadi menjadi suatu tindakan penghancur disengaja
yang aktif.
Marah
seringkali muncul sebagai reaksi terhadap frustasi,sakit hati, dan merasa
terancam. Pada umumnya, frustasi atau keiginan yang tidak terpenuhi, merupakan
hal yang paling sering menimbulkan kemarahan pada tiap tingkat usia. Pada bayi,
frustasi kerap timbul karena tidak dapat bergerak bebas. Sedangkan bagi
anak-anak, cara-cara penanaman disiplin seperti disuruh tidur, membereskan
barang bisa membuat anak marah. Selain tiu ditinggal sendiri kehilangan
perhatian dan tidak mendapat apa yang mereka inginkan sering pula menjadi
pencetus kemarahan.
Dibanding
rasa takut, rasa marah lebih sering muncul pada masa kanak-kanak. Ini
disebabkan rangsangan-rangsangan untuk marah lebih sering di alami anak
ketimbang rangsangan yang menimbulkan rasa takut. Selain itu dalam tahun-tahun
pertama anak sering belajar dari pengalaman bahwa dengan marah keinginannya
akan terpenuhi.
Sering
tidaknya dan besar kecilnya intensitas marah sangat bervariasi dari satu anak
dengan anak lainnya. Seorang anak misalnya, bisa menahan rasa marahnya,
sementara anak lain tidak padahal mereka sama-sama menghadapi rangsang yang
sama. Terhadap rangsang cubitan misalnya, seorang anak bisa sangat marah, anak
lain mungkin haya kesal, sedang yang lain lagi menunjukkan reaksi menarik diri.
b.
Ciri-ciri
1.
Secara Fisik
Muka merah,
pandangan tajam, nafas pendek, keluar keringat dan tekanan darah meningkat.
2.
Secara Emosional
Merasa terganggu,
menentang, jengkel, dendam, meremehkan, dan merasa kuat.
3.
Secara Social
Perilaku keras,
ejekan atau humor yang tidak konsruktif, penolakan atau menarik diri..
4.
Kognitif
Mendominasi, bawel,
cerewet, berdebat dan meremehkan
5.
Secara Spiritual
Ingin menang
sendiri, tidak bermoral dan atau kreatifitas terhambat.
c.
Penyebab
Secara umum hal-hal yang menimbulkan rasa marah adalah : bila
anak terhambat melakukan sesuatu. Hambatan bisa berasal dari dirinya sendiri,
misalnya : ketidakmampuan atau dari orang lain, misalnya larangan.
Bayi-bayi biasanya marah karena secara fisik tidak nyaman,
dihambat untuk bergerak, dimandikan atau dipakaikan baju. Kadang-kadang
ketidakmampuan anak untuk melakukan sesuatu secara verbal pada saat awal anak
belajar icara juga bisa membuat ia marah. Selain itu, bayi-bayi juga bisa marah
apabila mereka merasa kurang mendapat perhatian.
Penyebab marah pada anak prasekolah umumnya tidak jauh berbeda
dengan penyebab pada bayi. Tetapi selain itu anak prasekolah akan bereaksi
marah bila benda-benda mainan miliknya dipegang atau di ambil anak lain. Bila
ini terjadi biasanya mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk merebut kembali
harta miliknya.
Reaksi marah umumnya bisa dibedakan menjadi 2 kategori besar,
yaitu marah yang impulsive dan marah yang terhambat. Marah yang impulsive
biasanya disebut juga agrasi. Marah jenis ini ditujukan langsung pada orang
lain,binatang, atau obyek. Bisa dalam bentuk reaksi fisik, bisa pula verbal, bisa
ringan, bisa berat atau intens. Amukan atau yang dikenal dengan temper
tantrum adalah hal yang biasa dijumpai
pada anak-anak.
Biasanya anak-anak tidak ragu-ragu untuk menyakiti orang atau
anak lain dengan cara seperti memukul, mengigit, meludah, menendang,
mendorong,dll. Di usia sekitar 4tahun kemarahan itu masih ditambah lagi dengan
kata-kata kasar atau ejekan-ejekan.
Marah yang terhambat adalah marah yang tidak dicetuskan karena
dikendalikan atau ditahan. Biasanya anak-anak bereaksi menarik diri, melarikan
diri dari anak atau orang alin yang menyebabkan ia marah adalah bentuk marah
jenis ini. Biasanya anak bersikap lesu, masa bodoh atau tidak berani. Karenanya
anak merasa sia-sia atau tak berguna. Inilah cara mereka menganggap menahan
marah adalah lebih baik daripada mengekspresikannya karena mereka terbebas dari
resiko penolakan social.
d.
Pencegahan
1.
Mempelajari hal yang menyebabkan anak
marah. Ketahui dengan pasti hal apa yang dapat memicu kemarahannya, seperti
lapar, bosan, suasana lingkungan yang tidak mendukung atau lainnya. Dengan
mengetahui penyebabnya, maka orangtua dapat mencegah kemarahan anak.
2.
Memberikan contoh sikap tenang padanya.
Anak mempelajari sesuatu dari apa yang dilihat dan dengarnya, karena itu
penting untuk mencontohkan sikap tenang didepannya. Jika lingkungan
disekitarnya suka marah-marah, maka anak akan menganggap bahwa perilaku ini
merupakan hal yang wajar.
3.
Ketahui siapa yang sedang marah. Bila
orangtua adalah orang yang mudah emosi, maka akan sangat mudah bagi anak untuk
memancing kemarahan dan berakhir dengan lomba saling teriak tanpa ada
penyelesaian. Karena itu perlu diketahui siapa yang marah agar kondisi tetap
terkendali.
4.
Usahakan untuk tetap tenang meskipun
berada di tempat umum. Sebaiknya orangtua tidak menunjukkan kemarahannya pada
anak di depan banyak orang, karena anak akan semakin menunjukkan rasa marahnya.
Jadi cobalah untuk menggendong dan membawanya ke tempat yang lebih sepi.
5.
Memeluk dan merangkulnya erat seperti
pelukan gaya beruang. Sebagian besar anak yang kehilangan kontrol akan menjadi
lebih tenang saat dipeluk. Pelukan ini tidak akan terlalu mengekangnya, namun
tetap memberinya keamanan dan kenyamanan yang dibutuhkan saat sedang marah.
6.
Menahan diri adalah terapi yang baik.
Tunggulah sampai ia tenang sebelum memulai konseling atau mengatasi
permasalahannya, karena jika ia masih marah-marah kemungkinan Anda akan
terpancing untuk ikut marah.
e.
Penanganan
1.
Pada saat anak marah,
jangan beri komentar apapun. Tunjukkan muka datar. Tidak menunjukkan emosi
apapun.
2.
Bila mungkin, sediakan
ruangan yang 'aman' bagi anak untuk melampiaskan amarahnya. Misalnya pada saat
anak sedang marah suruh dia masuk kamarnya sebagai tempat paling aman untuk
melampiaskan rasa marahnya.
3.
Kalau sudah reda, baru
kita datangi dan tanya "sudah marahnya? Ayo keluar". Dan di luar
ruangan baru kita tanya 'ada apa', 'marah sama siapa' dsb. Gaya kita bertanya
benar-benar lemah lembut seolah "badai katrina" yang tadi itu tidak
pernah terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
puterakembara.org/archives/00000144.shtml
Seri
Ayahbunda : Dari A sampai Z tentang Perkembangsn Anak
Seri
Ayahbunda : Problema Anak Sehari-hari